Dear Dad

 


Tahun ini tepatnya pada bulan Maret, usiaku akan menginjak seperempat abad. Waktu bagaikan ilusi ya. Sangat cepat berlalu. Suka dan duka yang terjadi sebelumnya kini menjadi cerita dari perjalanan hidup yang mungkin masih panjang ini. Dari kecil, hubunganku dengan kedua orangtuaku tidak begitu dekat. Tapi bukan berarti buruk. Aku punya adik yang jarak usianya dekat denganku, sehingga saat itu fokus ayah dan ibu dalam mengasuh menjadi terbagi. Untungnya dari kecil aku sudah bisa mandiri sehingga ayah dan ibu bisa fokus dengan adikku yang masih kecil. Tapi, walau demikian, kasih sayang mereka tetap sama kok. Sampai usiaku menginjak 15 tahun, aku tidak pernah merasakan kurangnya kasih sayang dari orangtua. Naas di usiaku yang ke-16, ibu sudah dipanggil oleh Allah SWT. Saat itu adalah titik terendah kami sekeluarga. Aku, Ayah, dan adik-adikku. Kami semua sangat drop. Aku ingat, satu hari setelah kepergian Ibu, ayah sudah terlihat tegar. Ayah sudah tidak menangis dan ia kembali bekerja seperti biasanya. Sebagai anak pertama, aku paham betul apa yang sedang Ayah rasakan. Di satu sisi pasti beliau sangat terpukul karena ditinggal pergi oleh teman hidupnya, tapi di sisi lain ada tanggung jawab yang harus beliau penuhi. Maka dari itu, beliau harus menahan diri untuk tetap tegar di depan anak-anaknya. Saat itu adik-adikku masih kecil. Aku teringat Iko dan Putri yang masih berusia 6 dan 9 tahun menangis di pangkuanku. Air mata mereka tidak bisa berhenti mengalir dan terus mempertanyakan, 'Teh iko sama putri nanti gimana?'. Aku mengusap rambut kedua adikku sambil berkata, 'Iko sama Putri masih punya Teh Anaj, Anip, juga Ayah. Allah itu sayang sama Ibu kita, makanya Allah jemput Ibu kita lebih dulu. Sekarang Ibu udah ga kesakitan lagi. Iko sama Putri ga boleh nangis terus nanti Ibu malah ikutan sedih.'

Beberapa bulan berlalu, akhirnya aku dan adik-adikku mulai terbiasa tanpa adanya sosok Ibu. Sebagai anak pertama, aku sedikit mengambil peran Ibu seperti memasak, menyiapkan keperluan sekolah adik-adik, dan sebagainya. Saat itu, aku juga masih sekolah sehingga Ayah lebih banyak mengambil peran tersebut. Ayah tidak pernah sedikitpun mengeluh. Walau anak-anaknya terkadang berulah. Sebagai seorang kakak, ada banyak kekhawatiran yang selalu aku pikirkan tiap hari. Saat itu Iko dan Putri masih sangat kecil. Aku dan Anip juga belum dewasa. Kala itu kami masih remaja, namun setidaknya kami masih lebih banyak merasakan kasih sayang dari seorang Ibu. Berbeda dengan kedua adikku yang masih kecil. Jujur aku takut kalau nantinya adikku yang masih kecil merasa menjadi anak broken home karena kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua.

Waktu terus berjalan hingga aku menginjak usia 20-an. Adik adik yang tadinya masih kecil kini telah beranjak remaja. Anak-anak kecil ini tumbuh dengan baik. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang ceria. Entah karena adik-adikku yang begitu kuat atau karena aku punya Ayah yang luar biasa, yang walaupun beliau membesarkan kami sendirian namun kami tidak pernah merasa kehilangan sosok orang tua terutama Ibu. Dari awal kepergian Ibu, satu hari setelahnya Ayah seperti kembali memutar roda kehidupan kami. Ia menyeka air matanya, berdiri, menatap kedepan sambil menggenggam tangan anak-anaknya. Seolah berkata, 'Ayah akan pastikan kalau Ibu kalian tidak usah khawatir terhadap kalian karena masih ada Ayah disini.'
Sampai hari ini Ayah masih rutin ke makam ibu untuk sekedar membersihkan atau memang ingin berziarah. Aku teringat suatu hari saat aku masih sekolah, aku pernah terbangun tengah malam dan ingin ke kamar mandi. Saat itu, di dapur aku melihat Ayahku sedang merokok sambil menangis. Aku malu bertanya dan pura-pura tidak lihat saat Ayah sedang menangis. Yang pasti saat itu aku yakin kalau Ayah sedang merindukan Ibu. Seandainya waktu bisa diputar, aku ingin sekali memeluk Ayah saat itu. Sayangnya kala itu aku masih remaja. Aku masih gengsi untuk menunjukka emosi pada orang lain. Memang benar kata orang kalau penyesalan itu selalu muncul belakangan.
Tahun ini ayahku akan menginjak usia 58 tahun. Aku agak was was karena dalam kurun waktu 2 tahun kedepan berarti usia ayah akan menginjak 60 tahun. Sekali lagi, waktu itu bagaikan ilusi. Ayahku sudah sangat tua. Sedih rasanya jika melihat Ayah di usia ini masih bekerja banting tulang untuk keluarga. Aku ingin sekali bisa membalas budi dengan mengambil peran Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Saat ini memang aku belum cukup mapan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Begitupun dengan Anip adikku yang jarak usianya dekat denganku. Aku dan ketiga adikku punya mimpi, tatkala ayah sudah menginjak usia 60 tahun, ayah sudah tidak usah bekerja lagi. Cukup serahkan semua kebutuhan baik itu dapur, dll kepada kami anak-anaknya. Ayah cukup beristirahat dan menikmati hidup. Kalau ada hobi yang sedang ingin Ayah tekuni silahkan saja. Intinya di masa tua Ayah, kami ingin Ayah tinggal menikmatinya saja. Sekarang masih ada 2 tahun sampai usia Ayah genap menginjak 60 tahun. Dalam dua tahun ini aku dan adik-adikku akan mengusahakan semaksimal mungkin agar hal itu dapat terwujud. Aku tau kalau manusia hanya bisa berikhtiar semampunya dan segala hasil tetap akan ada di tangan Allah SWT. Tapi, ada yang namanya doa. Doa bisa mengubah apapun bahkan yang tadinya mustahil menjadi kenyataan. Teman-teman.. Terimakasih karena menyempatkan diri membaca tulisan ini. Maaf sebelumnya karena jadi menyita waktu kalian. Aku yakin di antara teman-teman semua yang sedang membaca ini, pasti ada yang dekat dengan Allah SWT. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati kami, kami meminta tolong untuk bantu mendoakan agar aku, dan adik-adikku dapat membahagiakan ayah, memenuhi segala keinginan dan kebutuhan Ayah, serta memberikan Ayah masa tua yang layak.

Thank you for reading. Semoga kita semua bisa membahagiakan orang tua kita 🤍

Comments

Popular Posts