Ketika Berkata Kasar Baik Untuk Jiwa?

 

Marah.


Marah itu datang ketika kita mendapat stimulus negatif baik itu berupa provokasi, komentar negatif ataupun tindakan fisik. Kutipan itu aku ambil dari seorang pakar psikologi amarah dan trauma dari Amerika Serikat bernama leon F Seltzer PhD. 

Aku pernah mendapat nasihat dari seorang teman, katanya,

'Yang sabar naj, nanti dia juga dapet karmanya.'

Do i believe in karma? Well, dalam agama yang aku anut sebenernya tidak ada hukum karma. Namun yang pasti, akan selalu ada akibat dari apa saja perbuatan yang kita lakukan. Benar kan?

Gini loh, ketika kita disakiti oleh seseorang baik secara fisik ataupun mental pasti kita akan merasakan sakit bukan? Toh namanya aja sudah disakiti. Otomatis pasti sakit. Disini pasti tidak ada yang suka kalau menerima perlakuan seperti itu. Karena sebagai manusia, sudah pasti kita ingin diperlakukan dengan baik. Jangankan manusia, hewan pun sama.

Sebagai umat muslim, tatkala aku marah akan sesuatu dan terlanjur melampiaskannya entah itu dengan mengumpat, menangis, dll, pasti akan ada penyesalan yang timbul ketika perasaanku sudah mulai menenang. Bagaimana bisa? Karena, dari kecil aku sudah diperkenalkan dengan sosok yang sangat luar biasa hebatnya. Bagindaku Rasulullah SAW. Beliau adalah teladan bagi kami semua umat muslim dalam berlaku dan bertutur kata. Dari semua cerita dan pengajaran yang diberikan oleh guru-guru terhadapku mengenai Nabi Muhammad SAW, tidak pernah terasa membosankan walaupun mungkin beberapa kisah yang diceritakan adalah pengulangan. Ketika amarah tidak bisa dikontrol sampai meledak sehingga menyakiti orang lain entah dengan lisan atau perbuatanku, perasaan malu menjalar disekujur tubuh. Jika ditanya, 'Bukankah kamu umatnya Nabi Muhammad? Tapi kenapa sikapmu sangat jauh dari teladan yang ia contohkan?'. Bayangkan jika kita bisa diberi kesempatan untuk bisa face to face dengan beliau. Pasti rasanya sangat memalukan bukan?

Amarah. Emosi yang pasti ada pada setiap individu. Besar kecilnya tergantung dari ego setiap orang. Orang yang egonya tinggi, cenderung lebih mudah marah. Berbeda dengan orang yang tetap punya ego, namun tidak dikuasi olehnya. Dia pasti masih bisa memberi setidaknya sedikit ruang untuk berpikir apakah tindakan yang dilakukannya baik untuknya? Apakah akan beresiko menyakiti? Apakah nantiya jika sudah terlanjur menyakiti bisa menjamin bahwa orang yang telah disakiti tidak menyimpan dendam?

Seseorang pernah berteriak padaku,'Dasar cewe anj*ng!', 'sengke!', dll. Huft, bisa-bisanya orang tega kayak gitu. Even though aku ini tidak ada artinya di mata dia yang mencaci, tapi aku adalah anak, kakak, adik, teman, dan murid dari orang-orang yang menyayangiku. Artinya, ketika seseorang mencaci aku, dia juga mencaci orang yang sayang padaku. Dan apa itu membuat si pencaci merasa lebih baik? Apa dengan berkata kasar baik untuk jiwanya? Dalam jangka pendek mungkin iya. Dia pasti akan lega karena merasa puas. Tapi dalam jangka panjang, apa itu menjamin bahwa jiwanya akan tetap sehat? Dia jadi terbiasa. Membentak, memaki, mencaci, bersumpah serapah sangat gampang keluar dari lisannya. Hingga ia jadi tidak peduli terhadap dampaknya kepada orang lain. Awalnya ketika dicaci seperti itu, sudah pasti aku sedih. Aku menangis dan jadi mempertanyakan diri. Am i worth it? Jika iya, kenapa aku bisa mendapat perlakuan seperti ini? Tapi setelah kita bisa ridho dengan perlakuan orang tersebut, justru malah merasa kasihan kepadanya. 

Jika seseorang marah sampai meledak-ledak, pasti ada penyebabnya. Dan ketika kita dimarahi juga pasti ada penyebabnya. Mungkin dalam tulisan ini, aku mempunyai POV bahwa disini aku yang menjadi korban dari kemarahan seseorang, namun mungkin dari versi dirinya memang aku yang salah sehinggu memicu dirinya untuk berkata kasar. Terlepas dari apa penyebabnya, respon yang diberikan tetap harus bisa dikontrol karena biar bagaimanapun tindakan kita menentukan apa yang akan terjadi di kemudian hari. 

Jujur sebenarnya aku gemas karena tidak bisa melawan. Tapi juga lega karena tidak menimbulkan penyesalan atas aksi apa yang sudah aku perbuat. Dalam kasus ini maksudnya respon dari kemarahan dia kepadaku. Namun yang pasti atas apa yang telah terjadi sehingga membuat dia sampai emosi, aku akan tetap instropeksi diri. Aku tidak menyangkal kalau masih banyak kekurangan pada diriku dan mungkin dari kejadian ini, Allah mencoba untuk memberi pelajaran padaku tentang bagaimana bersikap. Tentang bagaimana memposisikan diri kalau ada di posisi orang lain. Tidak peduli apakah aku sudah berbuat baik menurutku, tapi belum tentu kita sudah baik di mata orang lain. 

Pelajaran penting yang aku petik dari kejadian ini. Yes, aku hampir hilang kewarasan karena larut dalam kesedihan. Tapi setelah melewati beberapa waktu. Aku bermeditasi,  menanamkan affirmasi positif, dan yang terpenting meminta bantuan langsung kepada sang pemilik emosi dan pembolak-balik hati yakni Allah SWT, Tuhan semesta alam. Meminta ketenangan dan meminta agar bisa ridho atas apa yang sudah terjadi, ternyata bisa kok terlewati. Buktinya sekarang aku baik-baik saja. Malah jadi lebih termotivasi untuk bebenah diri. Yang tadinya cuek karena merasa sudah baik, jadi ditampar oleh kenyataan kalau ternyata aku masih jauh sekali dari itu. 

Aku merekam semua peristiwa itu lewat journal kecil yang aku tulis setiap perasaanku jadi tidak enak. Aku tulis apa yang membuatku sedih, marah, kecewa, terluka, sakit, dan menderita. Aku coba posisikan itu semua pada diriku bagaimana sikap diriku pada orang lain sehingga membuat dia merasakan perasaan-perasaan negatif yang aku terima kepada diriku yang menjadi pelaku dan orang lain yang menerima imbasnya. Gila, sejahat itu aku. Maka dari itu semua itu harus aku list dan aku targetkan untuk tidak sampai melampiaskannya kepada seseorang. Aku juga menulis apa yang membuat aku bahagia dan mengimplementasikannya seperti perasaan negatif tadi. Masha Allah, betapa baiknya aku. Dan ini yang harus aku jadikan template tentang bagaimana harus bersikap kepada orang lain. Karena rasanya membahagiakan, ketika mendapat perlakuan itu dari orang lain. Aku saja yang hanya membuat skenario di dalam kepalaku dengan bagaimana bersikap layaknya aku ingin diperlakukan, rasanya takjub dan refleks memuji diri sendiri seperti tadi. Gila gila, baik banget masa. Apalagi kalau itu benar-benar terjadi di dunia nyata. Bayangkan orang lain memperlakukan kita dengan seperti itu. Pasti kita senang kan? 




Comments

Popular Posts